ads
KKN-Mu untuk Negeri #1: Membaca Perjalanan Karier El Manik

KKN-Mu untuk Negeri #1: Membaca Perjalanan Karier El Manik

Smallest Font
Largest Font

YOGYA – Kampoeng Kreativitas Nasional Muhammadiyah (KKN-Mu) untuk Negeri #1 diselenggarakan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga Pimpinan Pusat (LSBO PP) Muhammadiyah, 20-22 Agustus 2021. Kegiatan ini menghadirkan tokoh budayawan dalam beragam bidang, seperti seni visual, seni musik, sastra, dan seni pertujukan termasuk film.

Pada sesi terakhir, rencananya menghadirkan Imam Ginting Manik atau akrab disapa El Manik, untuk berbagi pengalaman kariernya dalam dunia perfilman. Namun karena berhalangan, sesi digunakan untuk membacakan tulisan El Manik yang sengaja disusun untuk dipersembahkan pada kegiatan siang itu.

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Kurang lebih 22 peserta yang tergabung dalam teleconference ikut menyimak kisah perjalanan aktor senior tersebut yang dibacakan salah seorang panitia. Tulisan 1.945 kata itu diawali cerita masa mudanya yang merupakan lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), pendidikan setelah Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Mestinya aku cuma jadi guru seperti Bapakku,” gerutu El Manik dalam tulisannya.

Laki-laki yang berasal dari tanah Batak, Sumatera Utara, ini sempat merantau ke Surabaya, dan tidak lama kemudian ke Jakarta karena mendapat infomasi bahwa ada sekolah film yang akan memberinya pekerjaan main peran di film layar lebar. Ternyata, ia kena tipu dan harus menggelandang di ibukota. “Kepalang basah,” katanya.

Menggambarkan kondisinya di Jakarta, ia memakai sebuah pemeo, “Sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam Ibukota.” Mau pulang kampung, ia pun enggan menanggung malu.

Selama lima tahun, El Manik hanya bisa mendapat job sebagai pemain figuran. Butuh waktu begitu lama sampai menyadari perjalanan ini mengantarkannya pada hikmah baru. Ia akhirnya baru mendapat kesempatan menjadi pemeran utama dalam film “Jakarta-Jakarta” (1977).

El Manik sejak awal mengaku tidak paham apa-apa tentang akting. Pengalamannya tampil sebagai pemeran tambahan di film layar lebar atau televisi juga sering makan hati. Terkadang adegan yang sudah ia lakukan susah payah justru dibuang oleh editor sebab mungkin dianggap kurang layak.

Ia menceritakan pergaulannya di Taman Ismail Marjuki (TIM) dengan para seniman dan anak-anak teater. Secara tidak sadar, ia belajar di sana, meskipun awalnya tidak tertarik secara serius. El Manik sering menyaksikan Teater Populer Teguh Karya, Bengkel Teater-nya Rendra, Teater Mandiri Putu Wijaya, serta Teater Kecil Arifin C. Noer di sana. Tidak pernah secara khusus masuk sekolah akting, El Manik hanya mengandalkan pembelajaran otodidak. “Setiap hari aku berlatih, belajar, dan memperkaya batin dengan pahit getir nyakehidupan di Jakarta,” terangnya. Salah satu hal yang mengasah potensinya adalah kegemarannya belajar berbagai bahasa, baik asing maupun daerah.

Dari temannya, El Manik belajar dialek Tegal yang dipraktikkan dalam film “Pasukan Berani Mati” dan “Bajing Ireng” karya sutradara Imam Tantowi. Dari berlatih bersama tukang sate yang mangkal di depan TIM, ia berhasil memainkan peran Haji Markasan dalam film “Carok” dengan dialek Madura. Hasilnya, Piala Citra untuk Pembantu Pria Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1985 berhasil dikantongi.

Lain waktu, ia bahkan sampai dapat merekomendasikan perubahan naskah untuk dialognya dalam film “Fatimah Budak Nafsu” saat memerankan Nakamura, tokoh perwira Jepang yang di cerita itu baru dua tahun tinggal di Indonesia. Dialog menggunakan Bahasa Indonesia fasih dikritiknya pada Syuman Djaya, sang sutradara dan penulis skenario.

Berkat pengalamannya berinteraksi dengan seorang insinyur Jepang yang secara tidak sengaja dikenalnya, ia diminta sang sutradara untuk membuat penyesuaian terhadap dialog tokoh Nakamura. Tokoh ini secara logika harusnya belum fasih berbahasa Indonesia, masih terbata-bata, dan agak acakadut tata kalimatnya. Dari film itu, El Manik meraih penghargaan Piala Citra sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik FFI 1984.

Selain berbagi pengalaman, ia juga menceritakan hal-hal apa yang dipelajari dalam proses berkariernya. “Aku berkesimpulan bahwa menjadi seorang aktor/aktris harus kaya. Bukan kaya harta, tapi kaya akan pengalaman batin.” Untuk itu, seseorang harus mau belajar membaca, melihat, mendengar, serta merasakan. Pemain peran juga perlu memiliki keikhlasan karena akan menghadapi banyak kesulitan. (*)

Wartawan: Ahimsa
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Paling Banyak Dilihat