Webinar PPA: Sekolah Lapang Iklim dan Cuaca, Upaya Hadapi Perubahan Iklim

Webinar PPA: Sekolah Lapang Iklim dan Cuaca, Upaya Hadapi Perubahan Iklim

Smallest Font
Largest Font

Webinar Green ‘Aisyiyah. Foto: Afifa/mediamu.com

 YOGYA – Kenaikan suhu tinggi pada permukaan air laut akan membentuk awan sehingga mengakibatka n hujan ekstrem dan mencairnya es di Puncak Jaya Wijaya. Tim peneliti BMKG memprediksi bahwa akan terjadi penyusutan gunung es pada Puncak Jaya Wijaya pada tahun 2025. Apabila ini dibiarkan akan membahayakan umat manusia.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Penjelasan tersebut disampaikan Prof. Dr. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. (Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika/BMKG) dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Jum’at (23/7). Tema webinar adalah “Green ‘Aisyiyah, Gerakan Mengatasi Bencana Akibat Dampak Perubahan Iklim”.

Berdasarkan UU nomor 29 Tahun 2009 tentang MKG, perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Varibialitas iklim adalah variasi iklim dalam keadaan rata-rata atau statistik lain di semua skala temporal atau spasial pada satu periode waktu tertentu (seperti satu bulan, musim, atau tahun), dibandingkan dengan statistic jangka panjang untuk periode yang lama).

Grafik BMKG menunjukkan adanya kenaikan tren hujan ekstrem di Indonesia tahun 1981-2021. Hujan ekstrem adalah hujan dengan intensitas lebih dari 150 mm per hari. Pada tahun 2016-2021 terjadi hampir 70 kali hujan ekstrem, padahal 1981 terjadi kurang dari 10 kali. Bahkan, ketika terjadi hujan cempaka di Yogyakarta intensitasnya hampir 300 mm per hari dan pada Januari 2010 di Jakarta terjadi hujan ekstrem dengan intensitas mencapai 377 mm.

Solusi untuk menghadapi kondisi ekstrem tersebut memerlukan adaptasi pola perencanaan sumber daya air untuk mendukung kehidupan. “Pihak yang paling kasihan itu petani. Yang harusnya bisa nanam, jadi nggak bisa nanam. Yang harusnya bisa manen, jadi nggak bisa manen. Oleh karenanya kami membimbing para petani untuk menentukan iklim cuaca, sehingga mereka bisa memprediksi kapan harus nanam, kapan harus menunda, jenis tanaman apa yang tepat, dan bagaimana pola tanamnya,” jelas Dwikorita.

Sekolah lapang iklim bekerjasama dengan dinas pertanian, pemerintah daerah, para penyuluh, dan perguruan tinggi. Tujuannya, edukasi dan literasi untuk petani, serta memberi pemahaman petani bahwa informasi iklim belum memadai.

Selain petani, nelayan juga termasuk pihak yang terdampak. Karena itulah dibentuklah Sekolah Lapang Cuaca Nelayan, kerjasama BMKG, penyuluh Kementrian Kelautan dan Perikanan/KKP, dan nelayan dalam memahami cuaca dan iklim, pemanfaatan informasi cuaca untuk antisipasi dan adaptasi tentang dampak kejadian cuaca atau iklim ekstrem.

“Mari membimbing bersama adik-adik di sekolah, para petani, nelayan, generasi milenial, dan masyarakat untuk memahami perubahan iklim dan mengubah sikap untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan,” harap Dwikora. (*)

Wartawan: AfifaturRasyidah I.N.A
Editor: Sucipto

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
MediaMu Author

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow